Kalau dengar kata krisis iklim, yang kebayang biasanya banjir bandang, kebakaran hutan, atau berita cuaca ekstrem di TV. Kita sering merasa isu itu jauh dari kehidupan sehari-hari, kayak cuma urusan aktivis lingkungan, ilmuwan, atau pemerintah.
Tapi coba deh lihat lebih dekat. Dampak krisis iklim sebenarnya hadir di hal-hal sederhana yang kita alami tiap hari. Misalnya harga cabai yang tiba-tiba melambung karena cuaca nggak menentu. Nelayan yang nggak bisa melaut karena ombak terlalu tinggi. Atau warung kecil yang kesulitan dapet bahan baku karena distribusi terhambat hujan berhari-hari.
Buat sebagian orang, ini mungkin sekadar berita ekonomi. Tapi buat pelaku UMKM—terutama ibu-ibu yang sehari-hari mengandalkan warung atau usaha rumahan—ini soal hidup. Soal apakah dapur tetap bisa ngebul atau harus puasa panjang.
Dan inilah yang sering luput dari perhatian: ibu-ibu pelaku UMKM sesungguhnya ada di garis depan menghadapi krisis iklim.
UMKM Bersuara: Dari Warung Kecil ke Media Digital
Sebagai cofounder UMKM Bersuara, saya sering ketemu cerita-cerita yang bikin saya mikir ulang soal siapa sebenarnya “pahlawan adaptasi” di era krisis iklim.
UMKM Bersuara sendiri adalah media UMKM lokal yang kami bangun dengan satu tujuan sederhana: membantu UMKM, khususnya ibu-ibu, naik kelas lewat pemanfaatan media digital. Kami ingin suara mereka nggak hanya terdengar di pasar tradisional, tapi juga di ruang digital.
Perjalanan ini tentu nggak sendirian. Kami didukung oleh Pattiro Serang, Atma Connect, dan Internet Society Foundation—organisasi yang percaya bahwa UMKM lokal punya peran vital dalam ketahanan masyarakat. Dan ternyata, keyakinan itu benar adanya.
Ketangguhan yang Terlihat di Hal-Hal Sederhana
Saya kasih contoh nyata. Ada seorang ibu di Serang yang jualan kue basah. Usahanya sederhana, dapurnya kecil, pemasarannya dulu cuma dari mulut ke mulut. Tapi ketika musim hujan bikin pasar sepi, penjualannya anjlok drastis. Kalau berhenti produksi, dia rugi. Kalau terus produksi, takut kuenya nggak laku.
Di situasi serba salah itu, dia coba cara baru: promosi lewat WhatsApp Group RT. Awalnya cuma tetangga yang order. Lama-lama, karena postingannya konsisten dan fotonya menarik, ada pesanan dari luar kampung. Bahkan ada yang minta dikirim ke kota sebelah.
Sekarang, WhatsApp jadi pasar barunya. Dari dapur yang tadinya sepi pembeli, kini pesanan datang hampir tiap hari. Buat dia, itu bukan sekadar “jualan online”. Itu survival mode.
Cerita ini sederhana, tapi menyimpan makna besar: adaptasi nggak selalu butuh teknologi canggih. Kadang cukup keberanian mencoba hal baru dengan alat yang ada.
Krisis Iklim Nyata di Warung Kecil
Kalau di forum internasional, krisis iklim dibahas pakai istilah keren: carbon footprint, green economy, sustainable development. Tapi buat ibu-ibu UMKM, bentuknya nyata banget: harga bahan baku yang melambung, waktu panen yang kacau, distribusi barang yang terhambat.
Itu kenapa tema “Suara Komunitas dari Garis Depan Krisis Iklim” relevan banget. Karena suara ibu-ibu UMKM bukan sekadar cerita perjuangan, tapi bukti bahwa adaptasi itu nyata.
Ada yang kreatif mengubah sisa bahan jadi produk baru. Ada yang mulai pakai kemasan ramah lingkungan. Ada yang memberdayakan tetangga buat bantu produksi biar lebih cepat. Ada pula yang rajin bikin konten edukasi soal produk lokal di Instagram.
Mereka mungkin nggak sadar sedang menjalankan green innovation. Tapi faktanya, ya memang itulah bentuk inovasi yang muncul dari keterbatasan.
Adaptasi Itu Bukan Milik Startup Saja
Kita, Gen Z dan Gen Y, sering kali menganggap adaptasi itu soal teknologi futuristik, startup unicorn, atau aplikasi viral. Padahal, dari ibu-ibu UMKM, kita belajar hal berbeda:
- Adaptasi bisa sesederhana belajar cara bikin konten jualan dari HP jadul.
- Adaptasi bisa berupa eksperimen kirim barang ke luar kota pakai ekspedisi baru.
- Adaptasi bisa jadi keberanian untuk mulai jualan online meski nggak ngerti algoritma Instagram.
Hal-hal kecil ini justru jadi fondasi ketahanan komunitas. Dan kalau ditarik lebih luas, inilah yang bikin masyarakat bisa tetap bertahan di tengah guncangan iklim.
Dari Warung ke Garda Depan
Kadang kita lupa, garda depan menghadapi krisis iklim itu bukan cuma aktivis lingkungan atau pemerintah. Mereka tentu penting. Tapi ada satu lapisan yang sering nggak kelihatan, ibu- ibu UMKM yang sibuk di dapur dan warung kecil.
Lewat usaha kecil itu, mereka bukan hanya menyelamatkan keluarga sendiri, tapi juga:
- Menjaga akses pangan di komunitas.
- Membantu roda ekonomi lokal tetap berputar.
- Membangun solidaritas di lingkungannya.
- Menjadi teladan bahwa adaptasi itu bisa dilakukan siapa saja.
Kalau dipikir-pikir, justru mereka lah yang jadi benteng pertahanan pertama ketika krisis datang.
UMKM Bersuara dan Perjalanan Panjang Adaptasi
Inilah alasan kenapa UMKM Bersuara hadir. Bukan sekadar sebagai media informasi, tapi juga ruang belajar, berbagi, dan menguatkan. Karena setiap kali seorang ibu berani upload produknya di Instagram, belajar cara bikin katalog digital, atau coba strategi baru di marketplace, itu bukan cuma langkah bisnis. Itu langkah adaptasi. Itu langkah ketangguhan.
Dan setiap langkah kecil itu, kalau dikumpulkan, bisa jadi kekuatan besar.
Pelajaran untuk Kita Semua
Dari kisah ibu-ibu UMKM ini, kita—Gen Z dan Gen Y—bisa belajar banyak hal:
- Adaptasi nggak harus ribet. Mulai dari hal kecil aja dulu.
- Teknologi bisa jadi senjata. Bahkan aplikasi sesederhana WhatsApp bisa menyelamatkan usaha.
- Ketangguhan lahir dari kebersamaan. UMKM tumbuh karena komunitas yang saling dukung.
Krisis iklim memang masalah besar. Tapi kita nggak bisa cuma menunggu solusi dari atas. Kita bisa belajar dari bawah— dari dapur sederhana tempat perjuangan hidup dimulai.
Penutup
Krisis iklim itu nyata, dan dampaknya udah kita rasakan hari ini. Tapi di balik ketidakpastian itu, ada ketangguhan luar biasa dari UMKM lokal, terutama ibu-ibu. Dengan dukungan teknologi digital, mereka menunjukkan bahwa adaptasi bukan sekadar teori, tapi praktik sehari-hari.
Jadi, kalau ada yang bertanya siapa sebenarnya garda depan menghadapi krisis iklim, jangan buru-buru menunjuk ke teknologi canggih atau kebijakan besar. Karena jawabannya bisa jadi ada di tangan seorang ibu yang lagi sibuk upload foto produknya dari dapur rumah. Dan mungkin, dari situlah masa depan ketahanan iklim kita dibangun.