Oleh: I Komang Agus Widiantara
Aplikasi Griya Luhu yang bisa diakses warga dalam mengelola sampah di Gianyar, Bali.
Bayangkan pantai Bali yang legendaris seperti pasir putih, ombak biru, dan matahari tropis yang memikat jutaan wisatawan setiap tahun. Tapi di balik postcard indah itu, ada momok gelap: sampah!
Sebagai destinasi dunia, timbunan sampah di Pulau Surga ini melesat cepat. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN, 2024), timbulan sampah di Bali mencapai sekitar 1,2 juta ton per tahun atau 3.600 ton per hari Bali. Bahkan di tahun 2025, sampah di Bali telah mencapai lebih dari 4.200 ton per hari, atau sekitar 1,5 juta ton per tahun. Angka ini melonjak karena pariwisata massal yang tak terkendali, urbanisasi cepat, dan sampah kiriman yang memperburuk ekologi pulau tersebut.
Fenomena sampah di Bali merupakan persoalan akut yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan lingkungan. Padahal Pemerintah Daerah Bali telah merespons dengan berbagai peraturan seperti Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber (PSBS) dan kampanye wisata bersih, namun sayangnya upaya itu sering terjebak pada pola birokrasi yang menjemukan.
Ambil contoh TPA Suwung di Denpasarsudah overload sejak lama, pernah terbakar selama 30 hari lebih pada 2023. Kemudian melepaskan asap beracun yang mengancam kesehatan warga dan wisatawan. Belum lagi konflik dengan masyarakat lokal pun muncul, karena sampah dari hotel-hotel mewah sering “diimpor” tanpa tanggung jawab. Jika tak diatasi, proyeksi berbagai pihak mengenai peningkatan sampah harian pada dekade mendatang akan terus meningkat dan tak terkendali.
Persoalan sampah yang runyam di Bali, mendorong Komunitas Griya Luhu yang berdiri sejak 2017 di Desa Beng, Gianyar merespon persoalan tersebut. Kegelisahan yang dialami oleh Ida Bagus Mandhara Brasika, sang pendiri komunitas Griya Luhu terkait sampah di lingkungannya yang tak tuntas, mendorong komunitas ini tak semata mengedukasi warga. Namun mengambil peran yang lebih jauh dan signifikan. Bertranformasi menjadi bank sampah. Yang pada akhirnya menjadi usaha rintisan (start up) pengelolaan sampah berbasis digital.
Griya Luhu memperlihatkan satu tesis sederhana. Tata kelola sampah yang efektif bukan soal “mengangkat lebih cepat”, tetapi “mengurangi dan memilah lebih dini”—dan itu membutuhkan arsitektur sosial, bukan sekadar armada truk semata. Kini, hasilnya mengagumkan.
Selama 4 tahun beroperasi, pada 2021 mereka mengoperasikan 74 unit di 14 desa dengan 10–13 ton sampah per bulan yang dialihkan dari TPA. Saat ini membina sekitar 100 unit, melayani 12 ribu nasabah, dan mengelola 100 ton sampah per tahun. Angka-angka ini memang belum menyelesaikan beban sampah di Pulau Dewata, namun keberadaannya nyata dan berdampak.
Lalu, bagaimana kiprah Griya Luhu beroperasi sehingga memiliki pengaruh cukup strategis dalam pengelolaan sampai di Kabupaten Gianyar?
Sebagai usaha rintisan berbasis ecopreneur, Griya Luhu sejak awal memposisikan diri sebagai unit komunitas sekaligus bisnis yang lebih memilih memberdayakan masyarakat untuk peduli lingkungan melalui bank sampah.
Bank sampah dianggap lebih efektif untuk diterapkan karena masyarakat desa terbiasa hidup komunal. Dengan sentuhan digital, Griya Luhu memiliki data dan mampu membaca kebiasaan terkait sampah pada warga sekitar. Griya Luhu bisa memonitoring sekaligus melakukan tracking yakni dapat memetakan volume sampah, jenis material, hingga rute pengangkutan paling efisien di lingkungan sekitar. Griya Luhu juga berhasil sebagai ruang circular economy platform, dengan mendorong masyarakat memilah sampah dan mengurangi sampah yang berakhir di TPA juga memproleh pundi-pundi rupiah.
Sebelum aplikasi bank sampah Griya Luhu diluncurkan, pencatatan tabungan sampah anggota dilakukan secara manual. Kini, setiap anggota diwajibkan melakukan registrasi lebih dulu untuk menjadi nasabah bank sampah Griya Luhu. Perusahaan rintisan itu mewajibkan registrasi agar pengunduh aplikasi benar-benar merupakan orang yang berniat menjadi nasabah bank sampah Griya Luhu. Setelah calon nasabah teregistrasi, mereka sudah bisa mulai menabung sampah di Griya Luhu. Sampah dari nasabah kemudian dikelola oleh Griya Luhu.
Griya Luhu juga memiliki program menarik dan unik dalam menangani sampah. Diantaranya jasa pengelolaan sampah kawasan (JAGOAN), jasa angkut sampah warga (JAWARA), kirim sampah jaga alam (KIRIM SAJA), dan beli sampah jaga alam (BELI SAJA). Kini, jumlah nasabah bank sampah terus bertambah.
Dari Griya Luhu, kita belajar bahwa kesadaran kuat, disinergikan dengan teknologi digital, dapat menciptakan ketahanan berkelanjutan. Dari Griya Luhu kita juga belajar bagaimana kekuatan warga membangun inovasi digital tanpa birokrasi rumit. Kepedulian dan orkrestrasi kolektif yang dibangun warga dalam menyikapi sampah, sesungguhnya respon atas dinamika iklim yang selama ini diwacanakan ditataran elit.
Di tangan inovator kreatif, sampah bukan sekadar musibah, melainkan peluang untuk mendesain insentif sosial-ekonomi yang rasional, memastikan keberlangsungan lingkungan di tengah kriris iklim dan polusi global. Sampah tak sekadar mendatangkan musibah tapi simbol peradaban, bagaimana harusnya manusia menyikapi dan mencarikan solusi.
Pada akhirnya, cara kita mendesain lingkungan, membangun data, dan merawat kebiasaan akan menentukan keberlangsungkan lingkungan kita yang dipenuhi dengan sampah. Hal ini sekaligus menjadi peluang ekonomi sirkular yang rasional di masa depan. Jika sebuah komunitas di desa Gianyar bisa, mengapa tidak seluruh Bali—bahkan Indonesia? Waktunya bangun, sebelum sampah menenggelamkan kita!