Oleh Randi Syafutra
Di banyak sudut negeri, kata “inovasi” sering terdengar megah, namun terasa jauh dari keseharian warga. Ia kerap digambarkan sebagai sesuatu yang lahir dari ruang berpendingin, ditopang oleh riset mahal, dan hanya bisa dijangkau kota-kota besar. Padahal, sejarah panjang bangsa ini menunjukkan bahwa kemampuan berinovasi justru berakar dari kebutuhan hidup sederhana dan dekat dengan alam. Indonesia tumbuh dari kreativitas rakyat yang berhadapan langsung dengan keterbatasan, dan dari keterbatasan itu lahirlah kearifan yang membuat hidup tetap berjalan. Kini, ketika dunia menghadapi krisis iklim, keterbatasan energi, dan persoalan sampah yang menumpuk, kita justru perlu kembali menoleh pada kekuatan inovasi hijau lokal, gagasan kecil dari komunitas untuk menjawab masalah besar.
Krisis energi di Kalimantan beberapa waktu lalu menjadi contoh nyata bagaimana ketergantungan pada sistem listrik terpusat membuat kehidupan publik terguncang. Pemadaman panjang tidak hanya menggelapkan rumah tangga, tetapi juga mengganggu rumah sakit dan kegiatan ekonomi rakyat. Di saat yang sama, Jakarta diguncang polemik sampah setelah pengelolaan di TPST Bantargebang terganggu. Gunungan sampah yang tak tertangani menimbulkan aroma krisis, sekaligus mengingatkan bahwa kota besar bisa lumpuh hanya karena tidak memiliki strategi sirkular yang kokoh. Ironisnya, di desa-desa kecil, masyarakat menemukan jalan untuk menerangi diri dan menjaga lingkungan dengan teknologi sederhana yang mereka kelola sendiri.
Ambil contoh Desa Kasepuhan Gelar Alam di Banten. Dengan membangun mikrohidro dari aliran sungai, mereka menghadirkan listrik bersih untuk 150 rumah tanpa menunggu proyek raksasa pemerintah atau investor asing. Di tempat lain, sejumlah komunitas merintis biogas dari kotoran ternak yang bukan hanya menghasilkan energi, tetapi juga menyuburkan tanah. Inovasi itu lahir bukan dari rapat konsultan, melainkan dari kebutuhan sehari-hari: bagaimana lampu tetap menyala dan dapur tetap berasap tanpa harus membeli gas atau membakar kayu. Inilah kekuatan inovasi hijau lokal: lahir dari kebutuhan nyata, menggunakan sumber daya yang ada, dan dikelola bersama.
Kita sesungguhnya hidup dalam paradoks. Di satu sisi, pemerintah menggaungkan target Net Zero Emission pada 2060 dengan jargon energi baru terbarukan. Di sisi lain, di banyak desa, masyarakat lebih dulu mempraktikkan kehidupan rendah karbon dengan cara sederhana yang jarang masuk berita utama. Narasi besar sering menyingkirkan suara kecil, padahal suara kecil itu memberi arah konkret bagi masa depan keberlanjutan.
Lihatlah lagi persoalan sampah. Jakarta menghasilkan sekitar tujuh ribu ton sampah setiap hari, mayoritas berakhir di Bantargebang. Ketika fasilitas terganggu, sistem seolah lumpuh. Bandingkan dengan desa-desa di Jawa Tengah atau Bali yang membangun bank sampah berbasis komunitas. Dengan melibatkan rumah tangga, mereka memilah sampah sejak dari sumber, mengubah organik menjadi kompos, dan menjual anorganik untuk daur ulang. Program sederhana ini menumbuhkan ekonomi baru sekaligus mengurangi beban TPA. Apa yang gagal diurus kota metropolitan justru dijawab oleh desa yang jauh lebih kecil. Bukan kecanggihan teknologi yang menentukan, melainkan komitmen sosial.
Teknologi ramah lingkungan tidak selalu berarti panel surya mahal atau turbin angin raksasa. Ia bisa berupa genteng hijau yang menurunkan suhu rumah, bata dari limbah plastik, atau komposter sederhana di halaman. Bahkan, ada ubin kinetik di trotoar yang menyerap energi langkah kaki, sebuah eksperimen yang mulai diuji di ruang publik dunia. Semua ini membuktikan bahwa inovasi hijau bukan milik segelintir elit, melainkan bisa dibumikan sepanjang ada kemauan untuk berbagi pengetahuan.
Namun, jalan menuju penguatan inovasi lokal tidak selalu mulus. Tantangan terbesarnya adalah keberlanjutan. Banyak proyek lahir dengan semangat tinggi, lalu redup ketika dukungan dana berhenti. Di sinilah peran negara penting. Pemerintah seharusnya bukan hanya regulator atau penyedia proyek besar, tetapi juga fasilitator yang merawat inisiatif kecil agar tumbuh menjadi gerakan besar. Insentif fiskal bisa diberikan bagi desa yang membangun energi terbarukan. Perguruan tinggi dan lembaga riset perlu turun ke lapangan untuk mengadaptasi teknologi sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan cara ini, pengetahuan akademik bertemu dengan kearifan lokal.
Kasus krisis listrik di Kalimantan bisa menjadi momentum. Alih-alih memperbaiki jaringan terpusat, mengapa tidak memperluas energi terdistribusi berbasis komunitas? Desa dengan potensi sungai kecil bisa membangun mikrohidro. Daerah berangin memanfaatkan turbin mini. Wilayah pesisir mengeksplorasi panel surya terapung. Skala kecil mungkin tidak spektakuler di mata investor, tetapi justru lebih tahan uji ketika bencana datang. Jika ribuan desa memiliki pembangkit mandiri, pemadaman di satu titik tidak akan melumpuhkan seluruh jaringan. Energi terdesentralisasi bukan hanya teknis, melainkan juga kedaulatan.
Hal serupa berlaku pada sampah. Ketika Jakarta kewalahan, desa menunjukkan solusi sederhana. Kuncinya adalah kesadaran bahwa sampah dari rumah tangga adalah tanggung jawab mereka. Model semacam ini jauh lebih kuat dibanding hanya mengandalkan kontraktor atau proyek insinerator yang mahal. Jika kota belajar rendah hati dari desa, kita mungkin tak lagi melihat gunungan sampah mencemari udara dan sungai.
Selain energi dan sampah, ketahanan pangan juga penting. Krisis iklim mengganggu pola tanam, sementara lahan subur tergerus industri ekstraktif. Di kota besar, harga pangan mudah terguncang karena bergantung pasokan luar daerah. Dalam situasi ini, pertanian vertikal di
perkotaan bisa menjadi jawaban. Dengan menanam sayuran di rak bertingkat, masyarakat mengurangi jejak karbon transportasi sekaligus memastikan pangan sehat. Gerakan urban farming yang merebak di perumahan adalah bukti solusi bisa lahir dari bawah. Saat pandemi Covid-19, kebun kecil terbukti menopang keluarga yang terjebak pembatasan sosial.
Pada akar persoalan, semua kembali pada cara pandang. Jika teknologi selalu dipandang besar, mahal, dan datang dari luar, komunitas akan terus menjadi penerima pasif. Jika komunitas ditempatkan sebagai pelaku utama, teknologi lahir dari bawah, tumbuh dari kebutuhan, dan berbuah pada kemandirian. Inilah semangat yang seharusnya menyertai perjalanan Indonesia menuju masa depan hijau.
Tentu tidak semua desa siap mengelola inovasi hijau sendiri. Ada yang masih bergulat dengan pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur. Namun di situlah solidaritas diuji. Pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil harus hadir memastikan inovasi lokal tidak berjalan sendirian. Ketika satu desa membangun mikrohidro, desa lain bisa belajar. Ketika satu komunitas sukses mengelola bank sampah, yang lain meniru. Dengan jejaring kolaborasi, kemandirian lokal bisa menjadi kekuatan kolektif.
Tulisan ini bukan seruan untuk mengidealkan desa atau menafikan kota. Kota tetap penting, tetapi harus belajar rendah hati dari desa yang mampu mempraktikkan kesederhanaan berkelanjutan. Kota juga harus membuka ruang bagi warganya untuk menjadi produsen, bukan sekadar konsumen. Dalam dunia yang dilanda krisis iklim, kedaulatan energi, pangan, dan lingkungan tidak bisa hanya bergantung pada proyek besar yang rawan korupsi atau ketidakadilan. Ia harus tumbuh dari bawah, dari rumah-rumah kecil, dari langkah sederhana, dari dapur yang tetap hangat, dari lampu yang tetap menyala, dan dari kebun yang tetap hijau.
Indonesia punya modal besar untuk itu. Kita punya ekosistem beragam, tradisi gotong royong, dan generasi muda melek teknologi. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian politik untuk menggeser paradigma pembangunan. Bukan lagi mengejar pertumbuhan rakus energi dan penuh sampah, melainkan membangun keseimbangan yang memberi ruang bumi bernapas. Jika keberanian itu ada, inovasi hijau lokal bukan hanya wacana, melainkan jalan realistis menuju Indonesia tangguh.
Pada akhirnya, semua kembali pada pertanyaan sederhana: apakah kita ingin terus menggantungkan nasib pada proyek besar yang rapuh, atau berani menggenggam harapan pada inovasi kecil yang nyata? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah kita benar-benar siap menghadapi krisis iklim, atau hanya sibuk menghias laporan internasional. Sejarah bangsa ini telah mengajarkan bahwa kekuatan sejati selalu lahir dari rakyat yang berkreasi dengan apa yang ada di tangannya. Kini, saatnya kita percaya lagi pada kekuatan itu.