Oleh Arifin Ilham
Di era perubahan iklim yang semakin tak menentu, masyarakat dihadapkan pada cuaca ekstrem dan bencana yang tak terduga. Dari gelombang panas ke hujan deras, gelombang pasang hingga banjir bandang, semua bencana bisa terjadi kapan saja dan menuntut kita untuk lebih menyadari bahwa alam tak lagi bisa diprediksi dengan pasti. Di tengah ketidakpastian ini, kemandirian dalam meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menjadi kunci keselamatan. Dalam upaya meningkatkan kemandirian tersebut, teknologi hadir sebagai perpanjangan indera setiap warga yang dapat melihat gejala alam tak kasat mata dan mendengar bisikan alam lebih awal, sehingga mempercepat respons warga sebelum bencana melanda.
Bagi penyandang difabel sensorik seperti tuna rungu dan tuna netra, teknologi menjadi indera tambahan yang menghubungkan mereka dengan dunia yang lebih luas. Sistem peringatan dini berbasis web dan aplikasi dengan visualisasi informasi membantu tuna rungu memahami pesan kebencanaan seolah mendengar isyarat alam lewat gambar dan tulisan. Sementara bagi tuna netra, audio deskripsi atau teks alternatif yang diakses melalui aplikasi pembaca layar menyajikan informasi bencana, seakan menjadi mata yang menangkap pesan alam dalam bentuk suara. Sayangnya, tidak semua sistem peringatan dini berbasis digital ramah bagi difabel. Sebagai seorang tuna netra, saya menyadari betapa pentingnya akses terhadap informasi melalui indera selain penglihatan. Keberadaan teknologi sebagai sarana peringatan dini dan respon cepat harus mampu berbicara dalam banyak bahasa indera, tidak boleh hanya bergantung pada satu bentuk komunikasi saja. Dengan kata lain, sistem harus inklusif dan menjangkau seluruh mata dan telinga warga tanpa terkecuali.
Pengembangan inovasi teknologi sebagai sistem peringatan dini yang inklusif bisa mengacu pada prinsip Web Content Accessibility Guidelines (WCAG). Pedoman ini adalah standar global untuk memastikan bahwa setiap konten digital dapat diakses oleh semua orang termasuk penyandang difabel sensorik yang memiliki keterbatasan dalam pendengaran dan penglihatan. Dari sekian banyak prinsip, ada beberapa yang relevan dan dapat diterapkan dalam konteks peringatan dini kebencanaan. Pertama, dapat dipersepsi (perceivable), yakni informasi harus disajikan lewat berbagai media. Teks dan elemen visual bagi tuna netra perlu dilengkapi audio deskripsi, sementara bagi tuna rungu konten audio visual harus disertai teks alternatif dan notifikasi getar sebagai tanda bahaya yang tidak hanya terdengar tetapi juga terasa. Kedua, dapat dioperasikan (operable), artinya semua fungsi sistem mudah digunakan, termasuk navigasi sederhana, tombol dengan label dan ikon yang jelas, serta perintah suara bagi mereka yang kesulitan mengakses layar visual. Ketiga, mudah dipahami (understandable), agar informasi jelas bagi semua kalangan. Kode warna pada informasi visual seperti peta risiko bencana harus disertai teks penjelasan atau audio deskripsi. Video dengan transkripsi perlu diverifikasi manual karena sistem otomatis sering kali keliru dan membuat pesan membingungkan. Inovasi menghadirkan penerjemah bahasa isyarat virtual juga dapat menambah kesetaraan akses dan memperjelas pesan penting yang disampaikan. Keempat, kokoh (robust), artinya sistem dapat dijalankan di berbagai perangkat dan teknologi bantu, mulai dari pembaca layar, braille digital, hingga aplikasi
penerjemah bahasa isyarat. Sistem juga harus bisa berjalan pada perangkat berspesifikasi rendah untuk lebih menjangkau banyak orang yang memiliki keterbatasan akses. Dengan prinsip-prinsip ini, teknologi digital menjadi mata dan telinga tambahan yang inklusif bagi seluruh warga.
Indonesia sudah mempunyai beragam aplikasi peringatan dini kebencanaan yang dikembangkan oleh lembaga nasional maupun daerah. Beberapa aplikasi sudah cukup dikenal masyarakat luas, sementara yang lainnya hadir lebih spesifik bagi kelompok tertentu. Dalam perspektif difabel sensorik khususnya tuna netra seperti saya, berbagai aplikasi ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing jika dilihat dari aspek aksesibilitas. Info BMKG, misalnya, menyajikan data cuaca, gempa, dan peringatan dini tsunami. Bagi tuna netra aplikasi ini relatif mudah diakses melalui pembaca layar, meski grafik dan peta visual tanpa teks alternatif masih menjadi tantangan. Bagi tuna rungu, informasi visual interaktif dan notifikasi teks sangat membantu, meski fitur bahasa isyarat pada video edukasi masih minim. Lalu ada aplikasi InaRISK Personal dari BNPB yang memetakan risiko bencana hingga tingkat desa. Informasi dengan peta interaktif ini memudahkan tuna rungu memahami informasi kompleks, tetapi bagi tuna netra tanpa audio deskripsi atau teks alternatif, peta menjadi sulit diakses. Selain itu, BasarnasApp mempermudah laporan darurat dan akses layanan SAR, namun call center dominan menjadi hambatan bagi tuna rungu yang membutuhkan jalur komunikasi alternatif seperti chat atau video call dengan penerjemah bahasa isyarat.
Di samping aplikasi berskala nasional, inovasi lokal seperti Jakarta Kini (Jaki) memberi notifikasi real-time terkait tinggi muka air sungai, pintu air, dan genangan banjir. Namun, antarmuka aplikasi yang terlalu sederhana kadang kurang informatif bagi difabel. Aplikasi Joko Tingkir memprediksi tsunami dengan notifikasi audio dan getar, sedangkan Difgandes membantu masyarakat rentan termasuk lansia dan difabel dalam menerima pertolongan sekaligus mempermudah tim SAR memiliki panduan yang jelas dalam proses evakuasi. Sementara itu, Sipakedifa dan Sivabel menekankan e-learning dan sistem evakuasi yang disesuaikan dengan kebutuhan difabel. Kelebihan utama semua aplikasi ini adalah pemikiran desain yang inovatif serta pelibatan kelompok rentan secara langsung. Akan tetapi, sebagian besar masih terbatas pada wilayah tertentu dan masih dalam tahap pengembangan sehingga belum tersedia secara luas. Dengan melihat keseluruhan beragam aplikasi ini, terlihat bahwa Indonesia sudah memiliki pondasi kuat dalam membangun sistem peringatan dini inklusif yang meningkatkan kesiapsiagaan warga secara merata. Aplikasi umum seperti Info BMKG dan InaRISK Personal unggul dalam data dan jangkauan, namun masih ada tantangan dalam aksesibilitas. Sedangkan inovasi lokal seperti Sipakedifa dan Sivabel lebih menonjol dari perspektif difabel, tetapi belum cukup tangguh sebagai sistem peringatan darurat dan respon cepat.
Bagi seorang tuna netra seperti saya, pengalaman menggunakan aplikasi-aplikasi ini menghadirkan perspektif lain yang berbeda. Teknologi digital bukan lagi sekadar sarana informasi ataupun alat komunikasi semata, tetapi sudah menjadi sepasang mata dan telinga kedua yang memperkuat kemandirian dalam menghadapi perubahan iklim, meski kemampuan indera yang dimiliki terbatas. Dari aplikasi peringatan dini yang menampilkan peta interaktif hingga notifikasi audio dan getaran pada ponsel, teknologi berperanbsebagai indera digital yang menangkap tanda bahaya. Setiap informasi yang diberikan menjadi panggilan keselamatan yang dapat direspons dengan lebih cepat tanpa harus menunggu uluran tangan yang sering kali mengalami banyak hambatan.
Penerapan prinsip Web Content Accessibility Guidelines (WCAG) dalam inovasi sistem peringatan dini dan respon cepat bukan hanya bermanfaat bagi penyandang difabel sensorik seperti tuna rungu dan tuna netra, tetapi juga memberikan kemudahan bagi kelompok rentan lain dalam menerima pesan penting kebencanaan. Anak-anak dapat menyerap informasi dengan konten visual, sementara lansia lebih mudah memahami pesan dalam bentuk bahasa sederhana. Dengan desain yang inklusif, seluruh warga mampu merespons setiap fenomena alam dengan cepat. Teknologi digital sebagai perpanjangan indera meningkatkan kemampuan warga untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan kondisi alam, sekaligus mendorong kewaspadaan dan kesiapsiagaan. Kesadaran ini menggeser stigma terhadap kelompok rentan sebagai pihak yang selalu dibantu menjadi individu yang mampu secara mandiri menyelamatkan diri. Dengan demikian, keselamatan tidak lagi dimaknai seperti sebuah persaingan, siapa yang lebih cepat tahu dan lebih dulu siap, tetapi keselamatan hadir sebagai hak bersama seluruh warga yang sudah lebih dulu tahu dan siap dalam menghadapi potensi ancaman, meski dalam keterbatasan ataupun jauh dari jangkauan penyelamatan.